Perusahaan Farmasi di Makassar Pasok Pil PCC ke KTI

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Makassar--Perusahaan farmasi yang ada di Kota Makassar, ternyata menjadi pemasok pil PCC (Paracetamol Cafein Carisoprodol) skala besar ke kawasan timur Indonesia (KTI). Masing-masing ke Palu, Kendari hingga Papua. Fakta itu diperoleh oleh petugas Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Sulsel. Dalam dua hari terakhir, Kamis dan Jumat (14-15/9), mereka intens melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke apotek dan perusahaan besar farmasi (PBF) yang ada di Kota Makassar. Tujuannya, untuk mencari tahu dan memastikan ada tidaknya obat ilegal yang diperjualbelikan di tempat tersebut. Pengawasan dan pemantauan dilakukan, menyusul terjadinya insiden di Kendari. Di sana, puluhan anak remaja terpaksa dilarikan ke rumah sakit jiwa usai mengonsumSi obat jenis PCC. Bahkan ada diantaranya yang meninggal dunia. Hasil sidak hari kedua petugas BPOM, Jumat (15/9) menemukan fakta yang mencengangkan. Di PBF SS yang terletak di Jalan Korban 40 Ribu Jiwa, Makassar, ditemukan pil PCC terbungkus plastik biasa dengan ukuran kemasan yang cukup besar. Pil tersebut awalnya ada di dalam kardus besar tertutup. ”Semenjak kejadian di Kendari, langsung kita bergerak ke PBF dan apotek-apotek yang ada di Makassar. Sudah dua hari kita melakukan pelacakan. Ternyata didapat di PBF SS. Pil PCC ditemukan dalam bungkusan plastik dan kardus besar,” terang M Guntur, Kepala BPOM Sulsel ketika dihubungi, Jumat (15/9). Dari keterangan pemilik PBF, menurut Guntur, diakui jika barang tersebut diperolehnya dari Pasar Pramuka, Jakarta. Selanjutnya, obat-obatan yang tidak diperbolehkan dijual bebas itu rencananya akan didistribusikan ke kawasan timur Indonesia. Namun, pihak BPOM tidak percaya begitu saja dengan pengakuan tersebut. Guntur menegaskan, pihaknya akan melakukan pemeriksaan lebih jauh terhadap hasil temuan tersebut. ”Obat-obatan itu ditemukan pas mau diedarkan. Pengakuan pemilik PBF, akan dibawa ke wilayah timur seperti Palu, Kendari dan Papua. Katanya tidak diedarkan di Sulsel. Tapi kami tidak percaya begitu saja,” jelas Guntur. Obat-obatan yang ditemukan di PBF SS akan dibawa ke BPOM, serta dikoordinasikan dengan instansi terkait, yakni BNN (Badan Narkotika Nasional) dan kepolisian. Guntur sangat menyayangkan penemuan obat PCC itu di PBF yang merupakan distributor obat-obatan legal. Artinya, sarananya resmi dan punya izin beroperasi, namun apa yang dilakukannya adalah mendistribusikan obat-obat terlarang, tentu ilegal. Sebenarnya, lanjut dia, obat-obatan jenis PCC yang ditemukan itu sudah dicabut izinnya sejak 2013 lalu. Sehingga jika ditemukan di lapangan, peredarannya melalui pasar gelap. Secara resmi, obat itu dilarang keras diperjualbelikan di apotek dan PBF. Karena itu, dia sangat menyayangkan jika ada apotek atau PBF yang menyalahgunakan kewenangan dengan menjual obat-obatan terlarang. “PCC itu merupakan campuran somadryl, caffein, dan lainnya. Itu dilarang peredarannya. Sehingga jika ada yang ditemukan, melalui pasar gelap,” ungkapnya. Secara hukum, PBF yang ditemukan menjual obat terlarang itu telah melanggar undang-undang kesehatan. Mereka terancam dijerat pasal berlapis. ”Dengan adanya temuan ini, kami akan lebih intensif lagi melakukan pengawasan,” tandasnya. Ahli farmasi dari Universitas Hasanuddin Makassar Prof dr Elly Wahyudin, mengatakan pada dasarnya obat PCC digunakan untuk mengurangi kejang-kejang otot. Pil ini hanya boleh dibeli dan dikonsumsi berdasarkan resep dokter. PCC, kata Elly, bisa membuat tubuh merasa nyaman. Namun jika dikonsumsi lebih dari dua butir bisa mengakibatkan halusinasi. Efeknya akan terasa dalam waktu 30 menit. Fungsi utamanya untuk melemahkan otot-otot tubuh. Artinya, kalau dikonsumsi berlebih bisa membuat fly. “Nah, jika terus dikonsumsi bisa memberikan efek samping merusak saraf, hati, pencernaan terganggu sampai tingkat kesadaran menurun,” lanjutnya. Ia menambahkan efek fly itulah yang membuat orang kebanyakan mencoba-coba. Apalagi, kata Elly, sasaran pengedar adalah anak usia remaja, seperti yang terjadi di Kendari. Prof Elly tak menampik jika perusahaan farmasi kadang bereksperimen mencampur-campurkan obat yang satu dengan yang lain. “Ini yang kita belum tahu, apakah PCC yang ditemukan ini sudah dicampur dengan zat lainnya. Nanti kita tunggu hasil pemeriksaan BPOM. Tapi obat ini sudah tidak boleh beredar luas karena sangat ketat,” tambahnya. Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sulsel Brigjen Pol Mardi Rukbianto, menegaskan PCC merupakan obat keras namun tidak termasuk jenis narkotika. Obat ini, kata Mardi, berdasarkan informasi di BBPOM, memang sudah dilarang diedarkan karena dampaknya sangat membahayakan. Karena bukan jenis narkotika, BNN tidak punya domain kewenangan untuk turun langsung melakukan investigasi, atau menindaklanjuti penemuan tersebut. Namun dia menyarankan kepada Polri dan BPOM untuk intens melakukan razia, karena kemungkinan besar masih banyak beredar di Sulsel. Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan Sulsel dr Rachmat Latif meneruskan konfirmasi Menteri Kesehatan, menyebutkan obat-obatan terlarang dan zat adiktif sangat membahayakan dan merugikan remaja sebagai aset masa depan bangsa. Maka, jika ini terbukti zat psikotropika, Kemenkes mengingatkan agar masyarakat berhati-hati terhadap Napza yang mengganggu kesehatan. Menurutnya, sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan Napza, melalui upaya promotif, preventif, terapi dan rehabilitasi. Regulasi yang mengatur antara lain Undang-undang No. 35/2009 tentang Narkotika, UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan Permenkes No 41 tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. (bkm/fajar)
  • Bagikan